Senin, 05 April 2010

wawasan nusantara

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali.

Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan.

Karena masuknya kebudayaan dari luar, maka terjadi proses akulturasi (percampuran kebudayaan). Kebudayaan dari luar itu adalah kebudayaan Hindu, Islam, Kristen dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam. Semua unsur-unsur kebudayaan dari luar yang masuk diseleksi oleh bangsa Indonesia.

Kemudian sifat-sifat lain terlihat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan bersama yang senantiasa dilakukan dengan jalan musyawarah dan mufakat. Hal itulah yang mendorong terwujudnya persatuan bangsa Indonesia.

Jadi makna persatuan dan kesatuan bangsa dapat mewujudkan sifat kekeluargaan, jiwa gotong-royong, musyawarah dan lain sebagainya. Dari penjelasan uraian di atas dapatkah Anda memberikan contoh lain?

hal-hal yang berhubungan dengan arti dan makna persatuan Indonesia dikaji lebih jauh, terdapat beberapa prinsip yang juga harus kita hayati serta kita pahami lalu kita amalkan.

Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:1)
Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita mengakui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan adat kebiasaan yang majemuk. Hal ini mewajibkan kita bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2)
Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, tidak berarti bahwa kita mengagung-agungkan bangsa kita sendiri. Nasionalisme Indonesia tidak berarti bahwa kita merasa lebih unggul daripada bangsa lain. Kita tidak ingin memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain, sebab pandangan semacam ini hanya mencelakakan kita. Selain tidak realistis, sikap seperti itu juga bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3)
Prinsip Kebebasan yang Bertanggungjawab
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ia memiliki kebebasan dan tanggung jawab tertentu terhadap dirinya, terhadap sesamanya dan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa.
4)
Prinsip Wawasan Nusantara
Dengan wawasan itu, kedudukan manusia Indonesia ditempatkan dalam kerangka kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Dengan wawasan itu manusia Indonesia merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.
5) Prinsip Persatuan Pembangunan untuk Mewujudkan Cita-cita Reformasi
Dengan semangat persatuan Indonesia kita harus dapat mengisi kemerdekaan serta melanjutkan pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur.

TURU

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa salah satu cita-cita nasional Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Perumusan yang demikian mengandung arti luas, tidak hanya menyangkut kecerdasan intelektual, tetapi juga menyangkut kecerdasan sosial, emosional dan spiritual, yang diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mencerdaskan kehidupan bangsa meliputi kehidupan dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, yang didasari oleh kekuatan ideologi nasional yakni Pancasila. Kekuatan ideologi nasional harus menjelma menjadi kekuatan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kekuatan itu harus dibangun dan diimplementasikan agar dapat menyatukan visi dalam pemanfaatan sumber daya nasional. Hal ini sangat diperlukan mengingat tantangan dinamika kehidupan bangsa menuju tujuan nasional di era global menghadapi berbagai kepentingan dan persaingan yang semakin luas dan terbuka, karena lingkupnya tidak saja regional tetapi juga global. Persaingan dan tantangan ini jelas bukanlah suatu ancaman yang bersifat konvensional, persaingan dan tantangan global itu merupakan ancaman nonmiliter yang tidak dapat dihadapi dengan kekuatan militer. Ancaman nonmiliter adalah ancaman tidak menggunakan kekuatan bersenjata, yang dapat melemahkan nilai-nilai, sendi-sendi dan tata kehidupan nasional dan/atau dinilai memiliki kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa dalam mencapai tujuan nasional.
Untuk itu bangsa Indonesia dalam dinamika kehidupannya harus membangun kekuatan di luar kekuatan militer, yang berada pada profesionalisme warga negara dalam dinamika kehidupan memanfaatkan sumber daya nasional yang mampu menjamin tercapainya tujuan nasional. Kekuatan itu adalah kedudukan setiap warga negara sebagai unsur kekuatan bangsa lainnya yang dalam kedudukan dan profesi terjiwai oleh jati diri dan moral bangsa. Unsur kekuatan bangsa adalah segenap kemampuan yang dimiliki bangsa yang dapat didayagunakan untuk menghadapi ancaman nonmiliter termasuk ancaman transnasional baik langsung maupun tidak langsung.
Pendidikan kewarganegaraan bukanlah dalam arti sempit sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi adalah sebuah upaya sadar terhadap warga negara agar dalam kedudukan dan profesionalismenya berlandaskan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang dijiwai jati diri dan moral bangsa menjadi kekuatan mewujudkan tujuan nasional. Dengan profesionalisme warga negara yang dilandasi sikap dan moral kebangsaan serta dilandasi pemahaman politik kebangsaan menjadikan warga negara sebagai unsur kekuatan bangsa karena tampilan profesionalisme dilandasi jiwa patriotisme, cinta tanah air.
Dengan kerangka pemikiran demikian itu pendidikan kewarganegaraan dalam usia dini dan berkelanjutan adalah upaya bersifat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup dan kejayaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu sinergi membangun patriotisme dalam pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan oleh berbagai fungsi pemerintah dan lembaga masyarakat dan swasta adalah bersifat strategis pula. Dalam hal ini pendidikan kewarganegaraan dimaksud adalah pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menumbuhkan kesadaran hak dan kewajiban warga negara dalam bela negara yang dilandasi jati diri dan moral bangsa, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara.
Landasan sinergi itu diamanatkan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidíkan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Sistem pendidikan nasional mengakomodasikan amanat konstitusi itu salah satunya dengan mewajibkan pendidikan kewarganegaraan pada setiap jenjang pendidikan, yang bertujuan untuk membangun rasa cinta tanah air dan rasa kebangsaan. Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional hanya meliputi pendidikan formal.
Sementara pada sistem pertahanan negara, dalam pendidikan kewarganegaraan sudah tercakup di dalamnya pemahaman kesadaran bela negara. Bela negara itu sendiri memiliki spektrum yang luas mencakup sistem dan nilai dan norma sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan sistem kenegaraan, sehingga bela negara dalam konteks ancaman yang diatur sistem pertahanan negara memiliki dua dimensi, yakni persiapan dini membangun sistem pertahanan negara menghadapi ancaman militer dan pembangunan kekuatan dalam sistem pertahanan negara menghadapi ancaman nonmiliter. Dalam hal ini hasil didik dalam sistem pendidikan kewarganegaraan menjadi bagian dari unsur kekuatan bangsa yang diharapkan tampilan profesionalismenya dapat menjadi kekuatan untuk menghadapi ancaman nonmiliter, dan atas kesadarannya dalam bela negara menjadi katalisator pada suatu kondisi ancaman nyata musuh bersenjata dipersiapkan sebagai komponen pertahanan negara.
Pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pertahanan negara dilaksanakan dalam segenap aspek kehidupan melalui pendidikan formal, nonformal dan pendidikan informal, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, dan pendidikan layanan khusus. Pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan dalam pendidikan formal adalah bagian dari upaya pemerintah untuk secara dini mempersiapkan sistem pertahanan negara bersifat semesta sehingga ia merupakan tahap awal pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan kewarganegaraan di luar pendidikan formal merupakan tahap lanjut pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan diselenggarakan secara nasional oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, dan Swasta, yang dituangkan dalam kebijakan umum. Di dalam kebijakan umum diatur penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan yang berisi tentang kewenangan, standar isi dan standar kompetensi. Dalam penyelenggaraannya pendidikan kewarganegaraan tahap awal berada dan dilaksanakan oleh sistem pendidikan nasional, sedangkan tahap lanjut dilaksanakan leh seluruh instansi dengan mengacu pada kebijakan umum yang dirumuskan oleh Dewan Nasional. Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan fungsi pendidikan nasional merangkap sebagai anggota, dan beranggotakan menteri penyelenggara pendidikan kewarganegaraan yang terdiri dari menteri penyelenggara fungsi politik pemerintahan dalam negeri; fungsi pertahanan negara; fungsi pendidikan nasional; fungsi bimbingan umat beragama; dan gubernur penyelenggara fungsi pengembangan ketahanan nasional, serta lembaga masyarakat.
Pengelolaan pendidikan kewarganegaraan bertujuan menjamin kesinambungan dan sinergi terhadap berbagai fungsi penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan dalam mewujudkan kemampuan partisipasi warga negara secara demokratis dalam kerangka sistem kehidupan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Arah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan kewarganegaraan dirumuskan dalam kebijakan nasional yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan kebijakan dan strategi pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Mr. Muhammad Yamin
Agar dapat melihat Pancasila dengan lebih jernih, ada baiknya jika kita mengetahui sejarah pembentukannya terlebih dahulu. Konsep perumusan sila-sila dalam pancasila pertama kali diajukan oleh Mr. Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, beliau menyampaikan rumusan tersebut pada sidang pertama Badan Penyelidik. Dalam pidatonya, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan lima asas dasar untuk Negara Indonesia, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Namun rumusan yang disebutkan dalam pidato tersebut diubah sendiri oleh Mr. Muhammad Yamin, dalam usulan tertulis mengenai Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia beliau mengusulkan rumusan sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Dalam rumusan ini, Mr. Muhammad Yamin melihat perbedaan agama yang ada di Indonesia ini sebagai potensi yang dapat meruntuhkan kesatuan bangsa. Oleh karenanya Mr. Muhammad Yamin menempatkan sila pertama sebagai sila ke-Tuhanan, dengan demikian beliau menempatkan Negara pada posisi yang mempercayai adanya Tuhan dan berasaskan pada-Nya.
Hal yang disebutkan diatas didukung penuh oleh kelompok yang diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka, mereka berpendapat bahwa sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila yang lain. Karenanya, jika seseorang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, seseorang tersebut secara otomatis akan menjadi individu yang berperi kemanusiaan, kebangsaan kerakyatan dan juga berkeadilan sosial.
Ir. Soekarno
Pancasila merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, yang untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.
Berbeda dengan rumusan yang di ajukan oleh Mr. Muhammad Yamin yang banyak kesamaannya dengan Pancasila yang kita ketahui sekarang ini, rumusan yang dibuat oleh Ir. Soekarno terlihat sangat berbeda, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Pada rumusan yang dibuat oleh Ir. Soekarno, sila mengenai ke-Tuhanan ditempatkan pada sila kelima atau terakhir. Ir. Soekarno melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Ir. Soekarno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama.
Rumusan yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno dapat mengerucut menjadi hanya tiga sila yang disebut trisila, yang terdiri atas Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan dapat mengerucut lagi menjadi hanya satu sila yang disebut ekasila, yakni Gotong Royong.
Piagam Jakarta
Pada tanggal 22 juni 1945, sembilan tokoh nasional, yakni, Ir. Soekarno, Drs. Moh.Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoelkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin yang tergabung dalam Dokuritsu Junbi Choosakai mengadakan pembahasan dan berhasil menelurkan sebuah rumusan baru mengenai Pancasila, yaitu:
1. Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Untuk selanjutnya, perubahan yang terhadap rumusan ini hanya terjadi pada sila pertama, hal itu dilakukan karena khawatir akan terjadinya perpecahan bangsa berdasarkan agama. Dengan berubahnya sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila dirasakan lebih mentolerir penganut agama lain selain Islam di Negara Indonesia.
B. Nilai-Nilai Pengamalan Pancasila
Berkaca pada kondisi yang terjadi pada masa ini, Pancasila hanyalah sebuah simbol dari Negara Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, namun nilai-nilainya semakin terabaikan. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia sekarang ini akan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga pengamalannya pun dirasa kurang dalam kehidupan Bangsa Indonesia.
Berikut ini adalah beberapa nilai-nilai pengamalan yang terkandung di dalam Pancasila, diantaranya:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6. Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
C. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia
Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupam masyarakat, lebih optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.
Sayangnya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara tidak difungsikan secara maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda. Pengaruh kekuasaan orde baru yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai ”simbol, ” dan upaya memperkuat kekuasaannya. Hanya mampu menghasilkan generasi cerdas penghafal nilai-nilai Pancasila dan para penatar ahli. Selain tidak mampu mengamalkannya, justru mereka sendiri yang mencedrainya.
Tidak jauh beda dengan perilaku pemerintahan era reformasi. Pancasila dibiarkan tenggelam dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya jauh dari wacana publik, Pancasila dianggap sebagai simbol orde baru semakin dilupakan oleh penguasa termasuk elit politik kita. Eforia demokrasi yang tidak terkendali juga semakin mengaburkan nilai-nilai Pancasila.
Realitas tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan upaya penguatan Pancasila sebagai dasar negara. Lebih khusus lagi bagi upaya menjaga lestarinya NKRI di bumi persada. Kehadiran Pancasila tidak sekedar sebagai ideologi atau patron setiap warga negara, landasan bersama (common platform) atau sering juga disebut ‘kalimatun sawa’. Pancasila merupakan ”national identity” yang berperan mewadahi berbagai peredaan maupun konflik yang seringkali muncul dalam sub budaya nasional.
Indonesia dan Pancasila adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yang melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara sudah final. Simbol pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus di jaga. Mengharuskan tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila mesti terus di suarakan, memulihkan nama baiknya. Dengan membumikan susbstansi dan nilai yang dikandungnya. Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, tentu jauh dari kekeliruan. Menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila harus didasari suatu fakta riil akan pentingnya identitas nasional
Demokrasi yang sedang kita jalankan, harus diarahkan untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI. Demokrasi harus sesuai dengan kultur bangsa, tidak perlu berkiblat kepada Amerika Serikat, Eropa dan negara demokrasi lainnya. Demokrasi di negeri ini tetap berdasarkan ideologi negara Pancasila, yang sangat menghargai kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong royong yang selama menjadi ke-khasan budaya bangsa. Demokrasi yang dilaksanakan sebisa mungkin menghargai kearifan lokal dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, selama itu bermanfaat buat pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

A. LATAR BELAKANG
Pancasila adalah sumber segala simber hukum yng ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan Maha karya pendahulu bangsa yang tergali dari jati diri dan nilai-nilai adi luhung bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dengan berbagai kajian ternyata didapat beberapa kandungan dan keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan antar sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang lain. Ini dengan sendaranya menjadi ciri khas dari semua kegiatan sert aktivitas desah nafas dan jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah melewati masa-masa sulit dari jaman penjajahan smpai pada saat mengisi kemerdekaan.
Ironisnya bahwa ternyata banyak sekarang warga Indonesia sendiri lup dan sudah asing dengn pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar kenapa dan ada apa dengan kita sebagai anak bangsa yang justru besar dan mengalami pasang surut masalah negri ini belum bisa mengoptimalkan tentang nilai-nilai Pancasila tersebut. Terlebih lagi saat ini dengan jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan semangat untuk mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan sebelumnya.
B. PERMASALAHAN
Sejauh mana relevansi untuk merevitalisasi nilai-nilai pancasila di era Reformasi ini, apakah bisa menjadi tolak ukur untuk kita kembali atau bahkan meninggalkan nilai luhur bangsa indonesia.
C. LANDASAN TEORI
TAMPAKNYA kita perlu bercermin pada kehidupan bangsa-bangsa yang taat dan
konsisten terhadap ideologi yang diciptakannya. Bagaimana masyarakat Jepang masih menjunjung tinggi semangat dan nilai-nilai restorasi Meiji, sehingga mereka selalu bekerja keras dalam membangun harga diri bangsanya. Rakyat AS mengaplikasikan ideologi kebebasan sebagai spirit masyarakat, sehingga terwujud kompetisi yang sehat dalam membangun bangsanya. Kondisi objektif negeri besar yang bernama Indonesia ini, sesungguhnya amat rentan. Memang Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain yang mana pun. Ini perlu dicamkan, bukan untuk menggalang rasa chauvinistis atau kesombongan, tetapi justru untuk membangun kesadaran bertanggungjawab yang rendah hati bagi seluruh rakyatnya. Apabila kita melihat negeri ini “cuma” seperti Singapura, Taiwan, atau Korea Selatan, tanpa maksud mengecilkan keberhasilan mereka, akibatnya bangsa ini bisa salah jalan dalam usaha mencari terapi krisis multi dimensi yang melilitnya. Indonesia besar bukan hanya dalam angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk. Atau luas negara yang meliputi hampir seluruh Eropa, atau pantai terpanjang di dunia, dan seterusnya. Tetapi, ia juga besar di dalam skala jumlah permasalahan mendasar yang harus dihadapi setiap saat. Artinya, sewaktu-waktu bisa muncul, bahkan meletup dalam besaran yang sulit diduga, yang mengancam persatuan-kesatuan bangsa. Riset Douglas E. Ramage dalam ”Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance” (1995) mengungkapkan, bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu meributkan masalah ideologi. Indonesia, terutama para elitenya, sangat peka terhadap masalah ideologi sehingga seringkali terpenjara dalam polemik tak berkesudahan. Namun, meski permasalahan elementer itu begitu besarnya, sejarah telah membuktikan bangsa ini mampu mengatasinya dengan tangan sendiri. Membanggakan, tetapi sarat masalah paradoksal. Betapa tidak, kita kembangkan semangat integralistik dan sepakat membangun bangsa dalam negara kesatuan, tetapi yang kita miliki justru semangat primordial, yang punya potensi disintegratif. Falsafah kita Pancasila dan selalu ingin memelihara semangat gotong-royong serta mengedepankan mufakat dalam musyawarah, tetapi kita seringkali suka melakukan rekayasa. Setelah hampir 62 tahun merdeka, telah muncul tantangan terhadap Pancasila, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah semakin kompleks. Ini berarti perlu dicari bentuk-bentuk baru, suatu relasi sosial ke masa depan yang lebih baik. ***** DALAM situasi seperti ini, tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika membuka Seminar Nasional ”Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi” (LPPKB, 2003), bahwa revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai semen perekat persatuan-kesatuan bangsa menjadi teramat penting. Karena Pancasilalah yang harus menjadi sumber sekaligus landasan dan perspektif dari persatuan-kesatuan bangsa. Dengan landasan Pancasila itu pula, maka usaha untuk lebih memperkokoh rasa persatuan-kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan paham kebangsaan, kita juga menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh manusia terhadap manusia lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Sebab Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak azasi manusia. Semangat persatuan-kesatuan kita menentang segala bentuk separatisme, baik atas dasar kedaerahan, agama maupun suku, sebab Sila Persatuan Indonesia memberikan tempat pada kemajemukan dan sama sekali tidak menghilangkan perbedaan alamiah dan keragaman budaya etnik. Oleh sebab itu, bangsa ini harus menentang perilaku membakar, menjarah, menganiaya, memperkosa dan tindak kebrutalan lainnya yang mengarah ke anarkisme, serta berdiri di depan memberantas KKN tanpa membeda-bedakan partai, golongan, agama, ras, atau pun etnik. Semangat untuk tetap bersatu juga berakar pada azas Kedaulatan yang berada di tangan Rakyat, serta menentang segala bentuk feodalisme dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Karena kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan mendambakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, dan oleh karenanya, juga merupakan gerakan massa yang demokratis. Kecenderungan munculnya tirani mayoritas melalui aksi massa, hendaknya dikendalikan dan diarahkan, agar tidak merusak sendi-sendi persatuan-kesatuan bangsa. Jiwa persatuan-kesatuan juga mencita-citakan perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, karena dituntun oleh Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Semangat persatuan-kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila itu adalah nilai-nilai
D. PEMBAHASAN MASALAH
Reformasi bergulir di Indonesia dengan di motori oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh bangsa ini yang merasa bahwa krisis yang melanda negara ini di awali dari krisis ekonomi ternyata telah membawa kita pada krisis yang lebih besar seperti krisis politik, kepemimpinan dan akhirnya pada suksesi atau pergantian kepemimpinan secara nasional. Tentu telah banyak korban yang berguguran dalam proses reformasi tersebut semisal contoh mahasiswa trisakti yang menjadi korban dalam tragedi semanggi I-II, kerusuhan masa yang anakis dan rutal dengan melakukan penjarahan, pemerkosaan, pengerusakan fasilitas-fasilitas umum di Jakarta, solo, Medan, dan kota-kota lain di Indonesia. Semangt dan jiwa reformasi yang digulirkan menjadi kacau dan tidak tentu arah dan justru malah menodai nilai dan tujuannyasewndiri. Tentu ini menjadi tanda tanya besar ketika semangat untuk meluruskan dan mengembalikan tatanan negara ini menjadi lebih baik justru di lapangan justru kita temui hal yang kontraproduktif.
Salah satu tujuan reformasi dibidang politik dan hukum adalah mengembalikan UUD 1945 dan pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bangsa dan negara. Kita dapat mengetahui dengan seksama bahwa dalam pelaksanaan UUD 1945 dan pancasila dalam masa orma dan orba terjadi deviasia/ penyimpangan oleh oknum-oknum peanaayaelengara pemerintah. Sehingga dalam pelaksanaan berpolitik dan berpemerintahan hanya menjadi senjata dan dalil pembenaran dari semua tujuan penguasa untuk melanggengkan dan menikmati kekuasaan sehingga muncul pemerintahan yang lalu seperti otoliter obsolud, terpimpin dan kolusi untuk korupsi dan nepotisme / kronisaai dalam kekuasaan.
Ini tentu tidak mudah untukmembuat sebuah latar balik dan mengembalikan semangat seperti awalnya memerdekaan bangsa ini. Kekuasaan penuh dan perilaku birokrasi yang sistematis membuat apa yang mereka lakukan seolah selalu benar dan tidak ada penyimpangan dari nilai dan norma yang terkandung dalam pancasila. Butuh waktu dan sebuah generasi yang solid untuk dapat menempatkan kembali roh dan semangat pancasilaisme terutama pada generasi yang sekarang ini. Lebih lagi jumlah materi dan pedoman tentang pancasila sudah sangat jauh terkurang baik dimasyarakat umum maupun lembaga – lembaga pendidikan yang sebenarnya mempunyai peranan penting dan vital dalam menanamkan doktrin ideologi pancasila serta nilai – nilai yang terkandung untuk dapat di amalkan dalam kehidupan sehari – hari.
Dulu setiap sekolah dan kelompok organisasi selalu di wajibkan untuk mengikuti Penataran Pelaksanaan Pengamalan Pancasila ( P4) dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dari kelompok karang Taruna Desa sapai Pejabat negara. Secara lahirlah ini perlu ditingkatkan dan memang itu semua sebagai cara memberikan pendoktrinisasi anak bangsa untuk lebih mengerti dalam melaksanakan pancasila. Hanya saja satu materi dan doktrinisasi yang harus di buat lagi seperti yang dulu yang hanya untuk tujuan dan kapentingan penguasa negara dengan single mayority atau stbilitas nasional dalam arti semu.
Satu kata kunci yang sekarang menjadi asing sudah luntur dari kita sebagai bangsa adalah pancasila sebagai ideologi NKRI. Dapat kita ketahui bersama dari uraian dan penjabaran Pancasila dalam uku startegi Politik Nasional, Ali Murtopo. CSIS, 1947 Hal 173 dapat kita ambil garis besar sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa negara adalah berdasar dan percaya pada tuhan yang maha esa dengan kewjiban setiap warganya mengkui adanya Tuhan.
2. Sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, mengandung pengertian dan pengakuan akan penghargaan terhadap sesama manusia lepas dari asal usul, keyakinan, ras, serta pandangan politik adalah sama.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengandung arti sesuai dengan pernyataan kemerdekaan angsa di maknakan sebagai pengertian kesatuan dan bangs ini adalah satu dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan dalam satu NKRI.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin olah Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, mengandung arti bahwa demokrasi bangsa Indonesia bukan Demokrasi bangsa indonesia bukan demokrasi yang menitikberatkan pada kepentingan individu, namun pada pelaksanaan demokrasi pancasila yang mengikutsertakan semua golongan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.
5. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung arti bahwa golongan kemasyarakatan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak ada golongan yang menekan golongan lain dan mendapat perlakuan yangadildalam bekerja, hidup tertib, tentram dan layak.
Bila kita bangga sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai jatidiri sebagai angsa maka kita harus pada nilai – nilai dasar yang harus kita pegang teguh bersama. Terlebih lagi pada saat ini kita hidup di jaman reformasi yang seharusnya justru kita mengembalikan nilai – nilai dasar negara kita. Nilai – nilai dasar tersebut adalah:
a. pancasila sebagai landasan dan falsafah hidup bangsa yang tumbuh dari dasar bumi indonesia. Tidak ada yang kelitu dari pancasila yang di dalamnya termuat lima nilai dasar unuversal yaitu: believe in god, nationalisme, internasionalisme, democracy, and social justice. Kelima dasar ini harus menjadi paradigma baru yang ada dalam ruh hati yang paling dalam serta jangan pernah hilang kapan pun, dimanapun, dan bagaiamanapun.
b. tujuan NKRI, bagai sebuah kapal tentu negara ini punya tujuan yang tidak boleh digoyah dan wajib untuk tetap diamankan sebagaimana dapat kita lihat dalam pembukaan UUD 45 yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidu[pan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibn dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilam sosial.
c. bineka tunggal ika, adalah semangat untuk menakomodasi peredaan dan kemajemukan bangsa tetap dalam kerangka NKRI dan justru sebagai sebuah hasanah serta aset nasional memperukuh integrasi bangsa.
d. reformasi, semangat untuk tetap mereformasi dengan sifat untuk menyempurnakan dari kekurangan bangsa serta dengan konsep, agenda yang jelas didukung kerja keras semua komponen bangsa untuk memajukan dan memberikan sumbangsih serta semangat untuk rela berkorban demi bangsa ini.
Ada sebuah seni yang sederhana dalam kita memulai semangat pengamalan nilai-nilai pancasila yakni tiga M seperti:
1. mulai dari diri sendiri, adalah mimpi bisa mengubah apapun dengan baik tanpa diawali perubahan pada diri kita sendiri, memperbiaki diri sendiri berarti memulai segalanya.
2. mulai dari hal kecil-kecil, tidak ada prestasi yang besar kecuali rangkaian prestasi kecil yang mudah dan dapat kita laksanakan dengan niat dan jalan yang baik.
3. mulai sekarang juga, janganlah menunda pekerjaaan yang bisa kita lakukan sekarang karena terlambat dalam kita menjalankan tugas hanya berakibat menambah persoalan semakin banyak saja
PENUTUP
Dari uraian diatas penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
1.bahwa pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup serta sumber dari semua sumber hukum adalah warisan hukum yang digali dari nilai budaya, adat serta kepribadian bangsa.
2.tidak ada yang salah dalam pancasila hanya saja penjabaran pelaksanaan pada masa pemerintahan sebelumnya hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan saja.
3.pada masa reformasi ini sesuai dengan maknanya maka tidak salah dan tepat bila kita harus kembali pada nlai-nilai pancasila yang telah sekian lama menjadi asing dan jauh dari kehidupan kita sebagai bangsa.
4.revitalisai nilai pancasila harus seiring dengan semangat reformasi dalam perubahan menuju tatanan masyarakat yang madani adalah menjadi tonggak sejarah dimana keberhasilan reformasi justru pada keberhasilan mengembalikan kemurnian dan keutuhan serta kekuatan pancasilaisme disetiap warga negara indonesia


sumber: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/upaya-mewujudkan-persatuaan-bangsa-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar