Minggu, 13 Juni 2010

MAHASISWA DAN NASIONALISME

Rasa nasionalisme pelajar, pemuda, dan mahasiswa saat ini mengalami kemunduran. Hal itu mengakibatkan bangsa ini yang tidak sedikit diinjak-injak oleh bangsa lain.
kondisi seperti itu, sebagai bangsa yang besar kita harus bangkit dari kemunduran dan meningkatkan kembali rasa nasionalisme pelajar, pemuda, dan mahasiswa.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cianjur, Wildan Efendi saat membuka dialog kebangsaan dengan tema “Nasionalisme dalam Perspektif Pelajar, Mahasiswa, dan Pemuda” di Gedung DPD KNPI Cianjur, Jln. Ir. H. Djuanda Panembong, Cianjur, Minggu (6/9).
Menurut Wildan, salah satu contoh konkret kemunduran para pemuda adalah sikap Malaysia yang mengklaim budaya Indonesia berupa tari pendet. Padahal tarian tersebut benar-benar milik Indonesia. Sedangkan Malaysia keukeuh mengatakan tarian itu budayanya.
Miris rasanya jika kebudayaan kita lebih dihargai oleh negara lain sedangkan masyarakat Indonesia kurang memperdulikannya. hal ini dibuktikan dengan pameran seni budaya yang kerap kali digelar, masyarakat Indonesia cenderung tidak peduli dengan kebudayaan mereka sendiri, namun sebaliknya warga asing sangat tertarik dan kagum atas kebudayaan tersebut.
“Kejadian seperti ini bukan untuk pertama kalinya, sebelumnya Malaysia juga mengklaim kesenian reog Ponorogo. Kita akui Malaysia memang mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa, di atas tekanan keras pemerintahan mereka, atas khazanah demokratisasi negara kesultanan itu. Tapi tindakan itu tidak bisa dibenarkan,” paparnya.
Ketika hal ini terjadi barulah mahasiswa gencar untuk membudidayakan batik serta mempopulerkan tari-tarian daerah dalam setiap kesempatan.
Berkaca dari kejadian tersebut, kita harus membangun kembali agar rasa nasionalisme itu terbangun di kalangan pelajar, pemuda, dan mahasiswa. “Jika nasionalisme kendur, Indonesia akan diinjak-injak bangsa lain lagi,” katanya.
Dan kini para mahasiswa lebih peduli dan lebih suka mendemo dan menghujat pemerintah, daripada memikirkan nasib bangsa yang terancam disintegrasi.
Coba perhatikan, apa sumbangan pemikiran mahasiswa untuk memecahkan masalah separatis di Papua dan Aceh? Dan kalau kita ingat kelahiran Sumpah Pemuda, justru seharusnya dalam kondisi saat ini, para mahasiswa tampil di depan untuk mempertahankan NKRI. Seharusnya kan bisa bahu-membahu bersama pemerintah menemukan solusi yang terbaik untuk semuanya, itu baru kaum intelektual, jangan bisanya cuman menuntut, menuntut dan lagi2 menuntut. Bantulah pemerintah dengan solusi, Dewasalah dalam bersikap, “Jangan tanya apa yang negara dapat berikan pada anda tapi tanyalah apa yang dapat anda berikan untuk negara ini”.
Ironis dan sangat ironis, ternyata BEM atau Kelompok lainnya lebih hobi berpolitik jalanan dari pada masalah krisis kedaulatan bangsa. Mereka dengan extrimnya berdemo hingga mengajak orang lain untuk mogok makan, membakar benda-benda, bahkan menjahit mulut mereka sendiri agar suara mereka di dengar oleh pemerintah.
Sebetulnya usaha tersebut akan lebih baik jika mahasiswa lebih menghimbau pemerintah dengan cara memberikan upaya-upaya penyelesaian daripada melallukan aksi anarkis yang merugikan negara dan diri mereka sendiri.
Namun, mahasiswa juga seringkali tergerak hatinya untuk membantu masyarakat sekitar ketika terjadi bencana alam, meraka dengan sigap membuat posko bantuan dan penggalangan dana yang mereka terjun langsung didalamnya dengan diawasi oleh beberapa LSM agar tidak terjadi penyimpangan.
Rasa nasionalisme pelajar, pemuda, dan mahasiswa saat ini mengalami kemunduran. Hal itu mengakibatkan bangsa ini yang tidak sedikit diinjak-injak oleh bangsa lain.
kondisi seperti itu, sebagai bangsa yang besar kita harus bangkit dari kemunduran dan meningkatkan kembali rasa nasionalisme pelajar, pemuda, dan mahasiswa.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cianjur, Wildan Efendi saat membuka dialog kebangsaan dengan tema “Nasionalisme dalam Perspektif Pelajar, Mahasiswa, dan Pemuda” di Gedung DPD KNPI Cianjur, Jln. Ir. H. Djuanda Panembong, Cianjur, Minggu (6/9).
Menurut Wildan, salah satu contoh konkret kemunduran para pemuda adalah sikap Malaysia yang mengklaim budaya Indonesia berupa tari pendet. Padahal tarian tersebut benar-benar milik Indonesia. Sedangkan Malaysia keukeuh mengatakan tarian itu budayanya.
Miris rasanya jika kebudayaan kita lebih dihargai oleh negara lain sedangkan masyarakat Indonesia kurang memperdulikannya. hal ini dibuktikan dengan pameran seni budaya yang kerap kali digelar, masyarakat Indonesia cenderung tidak peduli dengan kebudayaan mereka sendiri, namun sebaliknya warga asing sangat tertarik dan kagum atas kebudayaan tersebut.
“Kejadian seperti ini bukan untuk pertama kalinya, sebelumnya Malaysia juga mengklaim kesenian reog Ponorogo. Kita akui Malaysia memang mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa, di atas tekanan keras pemerintahan mereka, atas khazanah demokratisasi negara kesultanan itu. Tapi tindakan itu tidak bisa dibenarkan,” paparnya.
Ketika hal ini terjadi barulah mahasiswa gencar untuk membudidayakan batik serta mempopulerkan tari-tarian daerah dalam setiap kesempatan.
Berkaca dari kejadian tersebut, kita harus membangun kembali agar rasa nasionalisme itu terbangun di kalangan pelajar, pemuda, dan mahasiswa. “Jika nasionalisme kendur, Indonesia akan diinjak-injak bangsa lain lagi,” katanya.
Dan kini para mahasiswa lebih peduli dan lebih suka mendemo dan menghujat pemerintah, daripada memikirkan nasib bangsa yang terancam disintegrasi.
Coba perhatikan, apa sumbangan pemikiran mahasiswa untuk memecahkan masalah separatis di Papua dan Aceh? Dan kalau kita ingat kelahiran Sumpah Pemuda, justru seharusnya dalam kondisi saat ini, para mahasiswa tampil di depan untuk mempertahankan NKRI. Seharusnya kan bisa bahu-membahu bersama pemerintah menemukan solusi yang terbaik untuk semuanya, itu baru kaum intelektual, jangan bisanya cuman menuntut, menuntut dan lagi2 menuntut. Bantulah pemerintah dengan solusi, Dewasalah dalam bersikap, “Jangan tanya apa yang negara dapat berikan pada anda tapi tanyalah apa yang dapat anda berikan untuk negara ini”.
Ironis dan sangat ironis, ternyata BEM atau Kelompok lainnya lebih hobi berpolitik jalanan dari pada masalah krisis kedaulatan bangsa. Mereka dengan extrimnya berdemo hingga mengajak orang lain untuk mogok makan, membakar benda-benda, bahkan menjahit mulut mereka sendiri agar suara mereka di dengar oleh pemerintah.
Sebetulnya usaha tersebut akan lebih baik jika mahasiswa lebih menghimbau pemerintah dengan cara memberikan upaya-upaya penyelesaian daripada melallukan aksi anarkis yang merugikan negara dan diri mereka sendiri.
Namun, mahasiswa juga seringkali tergerak hatinya untuk membantu masyarakat sekitar ketika terjadi bencana alam, meraka dengan sigap membuat posko bantuan dan penggalangan dana yang mereka terjun langsung didalamnya dengan diawasi oleh beberapa LSM agar tidak terjadi penyimpangan.